Berbeda dengan tulisanku yang biasa. Kali ini aku hanya ingin bercerita tentang kali kedua menonton teater besar: BUNGA PENUTUP ABAD.
"Tumben..."
"Emang Cynda suka sastra/teater?"
"Emang Cynda suka sastra/teater?"
Begitu yang terdengar saat orang-orang merasa heran dengan ketidakbiasaanku. Kalau ditanya suka, nggak juga. Aku ga pernah suka sesuatu hal dengan spesifik dengan begitu adiktif. Aku suka segala sesuatu yang berbau seni. Aku suka segala hal baru. Jadi jangan bilang kalau aku ga konsisten ya. Menurutku, ga pernah ada yang salah dengan seseorang yang selalu ingin mencoba hal baru atau mengetahui hal-hal baru dalam kehidupannya.
Sesederhana Mamamia: Here We Go Again menjadi kali pertamaku menonton teater besar pada September lalu. Tidak lama setelahnya, aku melihat postingan salah satu temanku tentang pertunjukkan teater yang akan dilaksanakan pada 17-18 November.
Hmm... menarik. Apalagi dengan aktor/aktris ternama yang akan memainkan sebuah kisah yang diadaptasi dari karya Pramudya Ananta Toer. Maka jiwa impulsif pun muncul begitu saja. Tiket VIP lah yang ku pilih. Beli. Selesai.
"Mas.. aku mau nonton ini ya sama kamu. Aku udah beli tiketnya"
"Mas.. aku mau nonton ini ya sama kamu. Aku udah beli tiketnya"
FYI, pacarku yang satu ini memang anak sastra banget dan dulunya juga anak teater. Makanya, dia pun ga nolak (antara memang ingin menemani atau juga tertarik dengan teater ini).
-----------------
18 November 2018
Orang-orang mulai berkerumun untuk menukar kode booking tiket dengan tiket fisik + booklet. Entah berapa ratus atau mungkin ribuan (?) kapasitas teater besar Taman Ismail Marzuki hari itu dipenuhi oleh wajah-wajah yang antusias dan tidak sabar menanti pertunjukkan teater. Sambil menunggu, banyak juga yang berfoto dengan backdrop acara.
Jujur. Hingga aku menginjakkan kaki di Teater Besar, aku dan mas sama sekali ga tau tentang ceritanya. Kita berdua (atau mungkin hanya aku) belum baca kisah ini. Untungnya, booklet yang diberikan menjadi sebuah pencerahan karena ada informasi tentang Sinopsis, karakter, pemeran, dan semua pihak yang terlibat. Tidak lupa, tentang Titimangsa Foundation itu sendiri.
"Kadang, tidak mengetahui informasi apapun bisa menjadi hal menyenangkan. Tidak perlu membandingkan sesuatu yang disaksikan dengan ekspektasi dan imajinasi sendiri. Seringnya, ekspektasi dan imajinasi tersebut justru melahirkan kekecewaan."
Bunga Penutup Abad.
Sebuah cerita dari karya Pram yang diperankan aktor/aktris hebat,
Marsha Timothy sebagai Nyai Ontosoroh
Reza Rahadian sebagai Minke
Chelsea Islan sebagai Annalise
Lukman Sardi sebagai Jean Marais
Sabia Arifin sebagai Mai Marais
Pertunjukkan berjalan 2.5jam. Waktu yang cukup panjang tapi nyatanya terasa singkat.
Tidak banyak yang bisa aku ceritakan karena emosi yang terlanjur diputarbalikkan dan diaduk sedemikian rupa melalui pertunjukkan ini. Semua emosi larut begitu saja: jenaka, tawa, sedih, haru, iba, senang, suka, duka, hingga rintihan hati yang begitu miris.
Aku ga pernah merasakan sesedih, merinding, dan gemetar bahkan bisa bahagia dan terharu menyaksikan sebuah pertunjukkan. Mungkin pernah, nangis/marah/senang, tapi rasanya beda. Beda karena ada rasa kebanggaan pada orang-orang yang menampilkan kemampuan terbaik mereka secara langsung dihadapan ratusan bahkan ribuan orang. Tidak seperti film atau pertunjukkan lain yang bisa diulang pengambilan gambarnya.
Senang. Bangga. Indonesia juga punya orang-orang hebat dan cerita-cerita hebat.
Keluar dari ruang pertunjukkan, aku dan Mas duduk sebentar di tangga luar teater. Terdiam. Yang keluar dari mulut kami berdua hanya...
"Bagus banget.. parah. Keren banget"
Karena ga tau lagi harus berkomentar apa.
Terima kasih banyak untuk semua pihak yang terlibat. Tentunya untuk mereka ada rasa kepuasan dan kebanggaan diri yang juga tidak hentinya dirasakan.
Aku pun juga bangga bisa menjadi bagian dari orang-orang yang menyaksikan pertunjukkan ini.
Ini emang bagus banget. Sebagai penggemar buku Pramoedya rela deh nonton dua kali :)
BalasHapus